Informasi Tambahan
Penulis | Riadi Ngasiran |
---|---|
Halaman | xiv, 142 Halaman |
ISBN | – |
Penerbit | UNUSA Press |
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, tak lepas dari peran serta pelbagai elemen masyarakat secara luas, termasuk di antaranya kaum santri, kiai dan orang-orang pesantren. Mereka secara organik tergabung dalam Laskar Hizbullah (beranggotakan santri), Laskar Sabilillah (beranggotakan kiai-kiai), yang terpanggil atas adanya Fatwa Jihad dari Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari, Rais Akbar Nahdlaatul Ulama (NU) dan menjadi pijakan keputusan PBNU ketika mengeluarkan Resolusi Jihad NU pada tanggal 22 Oktober 1945.
Laskar Hizbullah merupakan laskar beranggotakan santri, yang ketika zaman pendudukan Jepang (1944) telah dilatih dan digembleng di Cibarusah, dekat Bogor, seiring dengan terbentuknya tentara Pembela Tanah Air (PETA). Sehingga, ketika Bumi Pertiwi Republik Indonesia yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 mengalami ancaman dari Sekutu yang diboncengi tentara NICA (Belanda) maka darah para santri pun mendidih bersama Arek-Arek Surabaya.
Keterikatan spiritual antara Fatwa Jihad Kiai Hasyim Asy’ari (Bapak Umat Islam Indonesia) dan Resolusi Jihad NU — sebagai panggilah berjihad dan Perang Sabil bagi para santri dan kiai pesantren– terbukti ketika Bung Tomo dalam setiap pidato radio yang meledak-ledak untuk mengobarkan semangat juang Arek-Arek Surabaya, selalu diawali dengan Basmalah (Bismillahirrahmanirrahiim) dan Takbir (Allahu akbar) tiga kali.
Resolusi Jihad NU yang terbit pada tanggal 22 Oktober 1945 — kini menjadi momentum peringatan Hari Santri Nasional — menjadi katalisator Perang Sabil bagi kaum santri dan orang-orang pesantren pada Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Penulis | Riadi Ngasiran |
---|---|
Halaman | xiv, 142 Halaman |
ISBN | – |
Penerbit | UNUSA Press |
Ulasan
Belum ada ulasan.